Tag Archives: fan fiction

Wait… What?!

Hyo bangun dari tidurnya. Ia membuka matanya dengan susah payah dan melihat ke arah jam kecil di depannya. Pukul setengah delapan. Ya, ini hari Sabtu, maka ia tidak perlu bangun di pagi buta untuk bersiap-siap berangkat kerja.
Ia kembali menutup matanya dan meraba sisi tempat tidurnya yang lain. Tidak ada. Kiseop-nya pasti sudah bangun dari tadi. Ia membalikkan badan, membuka matanya perlahan, masih mengantuk. Ia menatap pintu kamarnya yang sedang tertutup, dan tiba-tiba…
BRAK!!!
Pintu terbuka.
Kiseop terdiam di depan pintu dengan mulut agak terbuka dan mata yang terbelalak. Terlihat seperti terkejut, tapi wajahnya tidak menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan. Malah, sepertinya ia agak senang.
Hyo yang masih mengantuk, tertawa pelan melihat tingkah Kiseop. “Ada apa?” tanyanya santai, sambil tersenyum.
“A… Aku…!” Kiseop bicara seperti kehabisan nafas.
“Ya…?” Hyo masih menunggu Kiseop selesai bicara, dengan gaya santainya (atau mungkin tepatnya ‘malas’), dan tetap terbaring.
“Aku…….!!!” Kiseop menahan kalimatnya lagi, masih berada di posisi yang sama, di depan pintu kamar mereka. Dan seakan-akan ingin memberikan isyarat kepada Hyo, ia memegangi perutnya.
“Apa…?” Hyo merasakan ada yang tidak beres, ia mengangkat kepalanya sedikit dari bantal.
Kiseop membuka mulutnya, dan terdengar sesuatu yang akan ia katakan dengan perlahan, “Ha…”
Hyo refleks bangkit dan terduduk di tempat tidur. Dengan rambutnya yang awut-awutan, ia membelalakkan matanya. Ia membatin, “Tidak, pasti bukan…”
“Aku hamil.” lanjut Kiseop sambil tersenyum.
Hyo terdiam.
Merasa seperti tertabrak pesawat jet dengan kecepatan 2.648.403.736.372km/jam, ia tidak tahu harus bagaimana, pasrah. Tak habis pikir. Apa katanya tadi? Bagaimana bisa? Kenapa? Tapi, di dalam hatinya ia juga merasa agak senang, karena ia suka hal-hal yang baru. Ia membayangkan dirinya dan Kiseop mendapat anggota baru di rumah, dikirimi banyak ucapan selamat dari rekan-rekan dan keluarga, berbelanja dengan anak mereka, seperti keluarga-keluarga yang lain. Namun, di samping itu, ia tidak lupa bahwa ia benci anak kecil. Pikirannya kacau. Bahkan ia sendiri tidak tahu seperti apa wujud wajahnya sekarang. Ia menatap Kiseop yang sedaritadi tersenyum di depan pintu.
“Oke, oke. Mungkin aku harus senang. Toh ini yang Kiseop mau dari dulu.” batinnya. Lalu ia tersenyum. “Mulai sekarang, jangan capek-capek ya…” katanya pada Kiseop. Kiseop mengangguk senang.

“Hyooooo!”
“Lee… Joon?”
“Hehehe! Aku baru kembali dari Jepang dan langsung ke sini! Bagaimana kabarmu?”
“Ah, aku baik kok! Eh, tunggu, bagaimana kalau kita pergi makan siang di bawah? Tunggu ya!” Hyo bergegas mengambil tasnya dan meninggalkan ruang kerja bersama Joon, sahabat lamanya yang sekarang berbisnis di Jepang.
“Kiseop apa kabar?” Joon meminum kopinya.
“Hehehe… Maaf aku belum mengabarimu, dia sudah hamil… empat bulan.”
“A… Apa!?” Joon hampir tersedak. Ia segera menaruh gelasnya di meja. “Kau… serius?” tanyanya sambil menatap Hyo dengan heran.
Hyo hanya menjawabnya dengan anggukan singkat.
“Wah… Sudah berpikiran untuk bermain dengan anak kecil ya? Akhirnya…” Joon menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Bukan begitu sih, heheh…” Hyo menggaruk kepalanya dengan canggung. “Aku juga tidak tahu, tapi, kelihatannya Kiseop senang, jadi aku juga ikut senang. Sebenarnya aku sendiri belum tahu siap atau tidak…”
“Oh… Tenang saja Hyo, kau pasti akan terbiasa dengan sendirinya. Tenang, aku mendukungmu! Hahahaha!” Joon menepuk-nepukkan tangannya ke pundak Hyo.
“Terima kasih, Joon. Ngomong-ngomong, kau ini kenapa susah sekali dihubungi sih? Bikin Twitter, dong!”
“Hahahaha, iya, aku agak sibuk di Jepang, ada proyek besar yang harus diurus, dan butuh waktu lama. Tapi tenang saja, sekarang aku ditugasi untuk mengurus proyek dengan cabang perusahaan di Korea, jadi aku akan lebih lama di sini. Aku masih belum mengerti Twitter…”
“Yaaaa!! Bagaimana ini, mengerjakan proyek besar saja kau bisa, masa kesusahan bermain Twitter? Hahahaha!”
“Yaaah, oke kalau begitu, nanti ajarkan aku cara menggunakan Twitter ya!” kata Joon sambil menuangkan sirup gula ke kopinya. Lalu ia berseru, “Eh! Kiseop ngidam apa?”

“Hyo, sudah pulang?” Kiseop mendongakkan kepalanya begitu ia mendengar suara pintu dibuka.
“Iya! Kiseop, ini, tadaaaa! Aku bawa pizza kesukaanmu!”
“Aih…” Kiseop kelihatan agak kecewa. “Sebenarnya aku menunggumu dari tadi siang karena ingin minta sesuatu yang lain…” katanya.
“Hm? Minta apa? Katakan saja.”
“Ini… Nyanyikan aku lagu K.Will yang Gift…”
“Glek!” Hyo terpaku di tempatnya. “I… Ini kan sudah aku bawakan pizza, Kiseop… Heheh, ayo, makan ya. Kamu belum makan, kan?”
“Nggg…!” Kiseop menggelengkan kepalanya. “Aku mau makan, tapi nyanyi dulu.”
“Aku… Aih, yang benar saja. Sudah sembilan tahun kita meninggalkan dunia entertainment, kan? Bahkan aku sudah lupa liriknya…” Hyo berusaha menolak. Ia heran kenapa Kiseop tiba-tiba meminta hal aneh seperti ini. Sebenarnya apapun akan ia lakukan untuk Kiseop, tapi, kalau menyanyi…
“Hyo… Aku sudah baca ulang liriknya kok, nanti kalau kamu lupa, aku bantu. Ya?”
“…” Hyo berpikir keras mencari cara untuk menolaknya.
“Hyo…” Kiseop menarik baju Hyo. Lalu ia menunjukkan jurus mata memohonnya pada Hyo.
“Hah…” Hyo yang tidak tahan melihat mata Kiseop itu menjadi semakin bingung. Dan tiba-tiba ia teringat kalimat Joon tadi siang, “Orang ngidam itu, permintaannya suka aneh-aneh. Temanku banyak yang begitu.”
Hyo tertawa pelan, lalu ia mendengus. “Jadi ini?” batinnya. “INI YANG NAMANYA NGIDAM, HAAAAAAAHHHH!!!??????” Hyo menjerit di dalam hatinya sambil membayangkan dirinya berteriak di tepi jurang yang curam. Rasanya ia ingin mencabik-cabik wajah Joon (yang sebenarnya tidak bersalah sama sekali).
“Hyo?” panggil Kiseop.
“Hah? Eh, iya. Oke aku mau. Tapi aku ganti baju dulu ya?” Hyo hendak melangkahkan kakinya ke arah kamar, tapi Kiseop menahannya.
“Sekarang.” kata Kiseop singkat.
“…..”

Sudah tiga bulan sejak kejadian Hyo menyanyikan lagu untuk Kiseop. Dalam perjalanan tiga bulan itu permintaan Kiseop semakin menjadi-jadi. Minta dicubit pipinya setiap Hyo akan berangkat kerja, minta dibikinkan puisi lewat akun Twitter (dan sempat bikin geger ratusan ribu penghuni Twitter yang mengikuti Twitter mereka. Kebanyakan sih, fans.), lalu masih banyak yang lainnya. Tapi untunglah, akhir-akhir ini permintaan Kiseop mulai mereda. Dan hari ini, kakak-kakak Hyo mengunjungi apartemen tempat Hyo dan Kiseop tinggal.
“Ini sudah masuk bukan kedelapan, ya?” Kibum melihat ke arah kalender.
“Waaaaah, sebentar lagi dapat ponakan~” Hyuk menepukkan tangannya.
“Sudah dapat nama, belum?” tanya Kangin.
“Glek…” Hyo dan Kiseop terperanjat mendengar pertanyaan Kangin.
“Belum sih, masih bingung! Hahahahah…” secara diam-diam Hyo mencolek pinggang Kiseop.
“Eh iya, Kibum hyung, Kevin apa kabar?” Kiseop mengalihkan pembicaraan.
“Kevin sedang ada pemotretan dengan Kihyun. Katanya ia ingin bertemu denganmu, tapi sayangnya tidak bisa.”
“Wah, Kihyun pasti dapat banyak tawaran kerja ya!” seru Hyo. “Ia mau kalian jadikan artis juga?” tanyanya.
“Tidak sekarang. Yah, kalau sekarang sih tidak apa, asal tidak mengganggu sekolahnya. Itu sudah kami bicarakan.”
“Kalau kalian? Nanti si dia itu juga mau kalian jadikan artis?” tanya Eunhyuk sambil menunjuk perut Kiseop.
Hyo menjawab tidak, dan Kiseop menjawab iya, dalam waktu bersamaan. Mereka bertatapan. Seakan saling bertanya, ‘bagaimana ini?’
“Aaaaa~~”
“Kalian pasti belum memikirkan sama sekali…”
“Ke mana saja selama tujuh bulan ini?”
“Ayo, kita harus bantu kalian merencanakannya!”
“Haih, bahkan sudah setua ini mereka tidak bisa dibiarkan berdua saja ya.”
“A… Itu, hyung…” Kiseop lantas melihat ke arah Hyo yang sudah pucat karena mendengar ocehan beruntun dari abang-abangnya.
Hyo dan Kiseop hanya bisa diam hari itu, kakak-kakak mereka mengambil alih semuanya, sampai membicarakan rencana pernikahan si calon anak. Akhirnya mereka pulang malam harinya, ya, dari siang sampai malam, bahkan Kibum tetap bersikeras untuk bergabung membicarakan anak Hyo dan Kiseop padahal Kevin sudah berulang kali menelfonnya dan menyuruhnya pulang. Berlebihan, memang. Orang-orang ini semakin tua semakin cerewet, pikir Hyo dan Kiseop. Tapi, bagaimanapun, kakak-kakak mereka itu ada benarnya juga, mereka berdua belum merencanakan apapun tentang anak mereka, selama ini mereka hanya membicarakan tentang bagaimana mereka nanti membagi waktu untuk mengurusnya, bagaimana nanti mereka bermain dengannya, di mana mainan-mainan anak mereka akan diletakkan, lalu membayangkan baju-baju yang akan mereka belikan untuk anak mereka. Ya, sebenarnya, banyaknya sih tentang main.
“Sekarang kita tidur saja, oke? Jangan dengarkan kalimat-kalimat kakakku, kamu tahu kan mereka memang…”
“Heh, bahkan aku tidak tahu mereka bicara apa.” Kiseop terkekeh.
“Hahahaha, baiklah, kita bicarakan semuanya besok saja sambil jalan-jalan, oke?” Hyo menarik tangan Kiseop, berjalan ke kamar mereka.

“Halo? Hyo… Pu, pula…ng…”
“Heh?”
“Pulang… Sak…….it!”
“SAKIT!!!???”

Tuuuutttt….

“Gawaaaaatttt!!!!!!” Hyo berlari meninggalkan ruang kerja tanpa meminta ijin kepada atasannya, ia menancapkan gas mobilnya dengan kencang, menuju apartemennya. Selama perjalanan ia tak berhenti berdoa agar Kiseop baik-baik saja.
“Kiseop! Kiseop-ah!!!” Hyo berlari-lari di dalam apartemennya, mencari Kiseop. Lalu ia menemukan Kiseop tergeletak di samping tempat tidur sambil menggigit guling. “Haish!!! Ayo lepas gulingnya! Sini!” Hyo mengangkat Kiseop dan menggendongnya di punggung. Ia berlari secepat mungkin, bahkan ia tidak mengunci pintu apartemennya. Ia tidak peduli jika barangnya akan hilang seisi rumah nanti, yang penting jangan sampai Kiseop-nya kenapa-napa.
Di perjalanan menuju rumah sakit, ia terus mengajak Kiseop bicara, meskipun tidak ada satupun kalimatnya yang ditanggapi. Pokoknya, jangan sampai Kiseop tak sadarkan diri, begitu pikirnya. Ia terus terbayang adegan drama yang pernah ia lihat saat ia masih tinggal dengan kakak-kakaknya dulu, di mana seorang wanita menjerit-jerit di dalam mobil dalam perjalanan menuju rumah sakit, dan tiba-tiba… Joknya penuh darah, wanita itu terus menjerit, dan…
“Eeeerrrghhh!!!!” Hyo menggelengkan kepalanya, berusaha berhenti membayangkan adegan itu. Ia melihat ke arah Kiseop yang duduk di sampingnya, diam menahan sakit, dengan keringat yang membanjiri wajah putihnya. “Kalau sakitmu itu bisa dibagi, aku rela ambil semua rasa sakitmu, Kiseop-ah!!!” batin Hyo dalam hati dengan wajah meringis.
Sampai di rumah sakit, Hyo bergegas menggendong Kiseop dan membawanya masuk.

“Hyo-ssi?”
“Ya?! Bagaimana dengan Kiseop?”
“Di sudah siap untuk melahirkan, anda mau mendampingi?”
“Mau!!!” Hyo mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengepalkan tangan.
Hyo memasuki ruangan tempat Kiseop berbaring. Ada banyak suster di ruangan itu. Ia terus berdoa agar waktu ini akan cepat berlalu. Kiseop melihat ke arahnya dengan lemas. Hyo agak sedih melihat Kiseop kesakitan seperti itu, tapi ia tidak mungkin menyerah di saat seperti ini. Ia mengepalkan tangannya, dan berbisik, “Hwaiting!” sambil tersenyum pada Kiseop. Kiseop membalas senyumnya. Senyum paling indah yang pernah dilihatnya, seutas senyum tipis yang diberikan Kiseop dengan susah payah sambil menahan sakit.

“Cool…” kata Hyo dalam hati.

“Bo… Boleh aku pegang tanganmu?” tanya Kiseop pelan. Hyo terdiam menatap Kiseop. Sesaat kemudian, hatinya merasa tersentuh. Ia teringat saat dulu, di atas balkon kantor mereka, di malam natal, Kiseop mengatakan kalimat yang sama persis dengan kalimat barusan. Lalu untuk pertama kalinya mereka berpegangan tangan di malam itu…

“Tentu saja…” Hyo berhenti membayangkan malam natal itu, dan mengarahkan tangannya pada Kiseop sambil tersenyum. Kiseop menggapainya, dan menggenggamnya. Hyo merasakannya lagi, sama seperti genggaman pertamanya dengan Kiseop, bahkan lebih hangat. Ia tersenyum senang, sampai…

“Aaaaaaaahhhhhh!!!!!!!” tiba-tiba Kiseop menjerit.
“Aih!!!!!” Hyo yang tangannya diremas, langsung kaku, tidak dapat berkutik lagi.
“Terus, dorong terus, ayo, tarik nafas ya…” bantu seorang suster.
“Uuuuuuggghhhhh, AAAAAAAAAA!!” Kiseop masih menjerit sambil meremas tangan Hyo sekuat tenaga.
“………” Hyo yang tangannya diremas, hanya pasrah.
“Ayo terus! Iya terus! Hyo-ssi, tolong dibantu.”
“HYOOOOOOOOO TOLONG AKUUUU!!!”
“APANYA YANG MAU KUTOLONG!!!!???? INI TANGANKU AAAAARRGHHH!!!!!!!” Hyo ikut menjerit, seakan mengundang Kiseop untuk menjerit lagi, dan meremas tangannya, lagi. Hancur sudah bayang-bayang masa lalunya dengan Kiseop di balkon…
“Oeeekkkk!!!”
“Eh?” Hyo terdiam. Ia melihat Kiseop, dan Kiseop sudah melepas tangannya, tidak sadarkan diri di tempat, pingsan kelelahan.
“Anaknya sudah lahir, Hyo-ssi… Sehat, normal. Laki-laki, selamat!” suster itu tersenyum. Hyo mengangguk, meninggalkan ruangan. Setelah menutup pintunya, ia diam. Lututnya lemas, dan ia terjatuh. “Aku… Punya anak? Kiseop. Kiseop melahirkan? An… Aneh. Bukannya, harusnya…. kan. Aku? Eh?” bisiknya pelan. Ia merasa ada yang aneh, tapi ia tidak tahu apa itu.
“Hyo! Hyoooo!” Eunhyuk, Kangin, Kibum, Kevin, dan Kihyun –sepertinya ada Lee Joon di tengah-tengah mereka– terlihat berlari-lari ke arahnya dari ujung koridor. Hyo menoleh, walaupun masih merasa ada yang ganjal, ia tidak melanjutkan pikirannya lagi. Ia menyambut kakak-kakak dan sahabatnya sambil tertawa.
“Perempuan atau laki-laki?”
“Sehat kan?”
“Namanya?”
“Hehehe…” Hyo menyeringai menanggapi pertanyaan beruntun dari ketiga kakaknya. “Laki-laki, sehat kok. Namanya……..” Hyo menutup matanya perlahan, mengambil nafas, bersiap-siap memberikan jawaban terakhir untuk kakaknya.

“HYO!!!!!!!” panggil seseorang. Suara yang sangat Hyo kenal. Hyo terkejut, ia membuka matanya. Dan kali ini ia semakin terkejut. Tak hentinya ia ber-“hah?” pada dirinya sendiri. Ia masih terdiam di tempatnya. Berusaha meluruskan pikirannya. Tiba-tiba ia merasa sangat ngantuk. Apa yang terjadi? Aku di mana? Ia terus bertanya di dalam hati. Lalu ia menyadari sesuatu. Di depannya terlihat jam kecil yang selalu dilihatnya setiap ia bangun tidur. Pukul setangah delapan, ya, ia ingat hari ini hari Sabtu. Dan ia kini berada di atas tempat tidur, di apartemennya.
“Sial…” rutuknya pelan.
“Hyo! Bangun!” orang yang tadi memanggil namanya–yang kini berada di belakangnya–kini mengguncang tubuhnya dengan kencang. Hyo membalikkan badannya. Ternyata itu Kiseop. “Kenapa ngigaunya ribut banget? Mimpi apa sih?” tanyanya.
“Mimpi…?” Hyo mengedipkan matanya yang masih berat. “Oh, pantas… Hahah, HAHAHAHAHA!!!” Hyo tertawa sambil memukuli pundak Kiseop. Di dalam hatinya, ia sedang menangis sambil menendangi batu sekuat mungkin. Membayangkan sembilan bulan yang ia rasakan ternyata hanya terjadi dalam satu malam, saat ia menggendong tubuh besar Kiseop dari apartemen ke mobil, dan dari mobil ke dalam rumah sakit. Saat Kiseop meremas tangannya –yang rasanya seperti dihantam kaki tempat tidur– benar-benar terasa nyata, bahkan lelahnya masih terasa sampai sekarang.
“Ih, kenapa sih?” Kiseop heran melihat Hyo yang terlihat lebih tidak waras daripada hari-hari biasanya.
“Haaahhh, hah…” Hyo tersenggal-senggal karena kecapekan tertawa. Lalu ia menatap Kiseop, memasang tampang serius. “Kamu… Lee Kiseop, kamu nggak hamil kan?”
Kiseop tercengang mendengar pertanyaan Hyo. Ia segera mengambil bantal yang berada di sebelahnya, dan menghantamnya ke tubuh Hyo. “GILAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!”