[PART 1] Santa, I Have a Wish!

“Kiseop-ah, bagaimana ini!? Bantu aku dong!”

“Ih, ada apa sih? Kau ini belum cerita apa-apa padaku, bagaimana aku bisa membantumu!?”

“Ah, aku ingin cerita, tapi…”

“Kenapa pakai ‘tapi’? Ah, biasanya kau cerita padaku juga tanpa permisi kan.”

“Ish!”

“Ya sudah, ceritakan!”

“Ini masih di jalan, aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Bagaimana kalau kita ke rumahmu sekarang?”

“Kau tahu darimana di rumahku sedang ada banyak makanan?”

“Eh?”

“Kau mau ke rumahku karena mau makan gratis kan? Hahahahaha!” ia berlari meninggalkanku sambil tertawa kencang.

“Ti, tidak, ah! LEE KISEOOOOOP!!!” aku mengejarnya dengan kecepatan penuh.

Kiseop berdiri di depan rumahnya sambil menyilangkan lengan. Ia sudah sampai daritadi. Aku hanya berjalan lemas dengan nafas tersenggal-senggal. Kiseop tersenyum, lalu ia melambaikan tangannya.

“Aku yang menang!” serunya.

“Apaan sih!? Kita tidak sedang lomba lari, tahu! Kau tahu bawaanku hari ini ada banyak sekali! Hhhh…”

“Hahaha! Eh, tapi sudah lama kita tidak lomba lari sepulang sekolah kan?”

“Oh iya, ya…”

Sejak SD, kami selalu pulang sekolah bersama karena rumah kami berseberangan. Setiap di perempatan dekat rumah berpohon jeruk itu, kami pasti lari. Yang sampai di depan rumahnya masing-masing, dialah yang menang. Yah, sudah lama sekali… Terakhir kami berlari seperti itu saat SMP, aku ingat, hujan deras mengguyur kami sore itu. Hingga kelas 3 SMA ini, baru hari ini kami melakukan ritual lomba lari sepulang sekolah.

“Kau, ih, jangan senyum-senyum sendiri dong!” ia mendorong pundakku. Aku yang sedang melamun lantas terkejut.

“Aku kaget nih!” seruku.

“Justru aku yang kaget, kenapa kau jadi senyum-senyum sendiri? Kepalamu terbentur?”

“Ah, tidak… Aku teringat waktu kita sering lomba lari sepulang sekolah dulu, hehehe.”

“Oh. Begitu…” katanya sambil mengangguk. “Ya sudah, ayo cepat masuk! Katanya tadi kau lapar?”

“Hah!? Aku tidak pernah bilang begitu!!!” teriakku padanya.

“Kiseop-ah, kau sudah pulang?” seru seseorang dari dalam rumah. Ah, bibi Lee! Ia pasti mendengar suaraku! Malunyaaaaaa… Kenapa aku teriak di rumah orang sih!?

“Hahahahaha! Aku tahu kau pasti malu tuh…” Kiseop menjulurkan lidahnya. Sialan…

***

“Kiseop-ah, kau bawa Haesun ya? Hei, Haesun! Apa kabar? Bagaimana ayah dan ibumu?” sapa bibi Lee, ibu Kiseop.

“Ah, bibi! Aku baik-baik saja, hehehe. Ayah dan Ibu… Ng, yaaah, mereka juga baik-baik saja kok! Hahaha…” aku tertawa canggung di depan bibi Lee. Ia menanyakan kabar Ayah dan Ibu, hhhhhh…

“Eh, sudah basa-basinya! Ayo cepat, Haesun! Ibu, tolong bawakan kami makanan ke kamarku ya, terima kasih!” Kiseop menarikku ke kamarnya.

“Ayo, cerita.” tagihnya sambil menarikku untuk duduk di depannya seperti biasa jika kami sedang bercerita.

“Aku… Untuk yang ini, agak sulit memulainya…” kataku pelan sambil memandangi lantai kamar Kiseop.

“Baiklah, aku tunggu.” katanya sambil menyenderkan dirinya pada sisi tempat tidur. Aku masih diam, menunduk.

“Begini… Ayah dan ibuku… Mereka, akan bercerai.” kataku pelan, dengan kepala yang masih tertunduk. Aku diam. Juga tidak ada respon darinya. Kamar menjadi hening. Aku mengangkat wajahku dan melihat ke arahnya. Ternyata ia sedang melihat ke arahku sedari tadi, wajahnya terlihat sangat terkejut, mulutnya terbuka seperti akan mengatakan sesuatu. Tapi aku tahu, karena begitu banyak pertanyaan yang ingin dikeluarkannya, ia tidak bisa bicara.

“Hei, tutup mulutmu, bisa gawat kalau ada lalat yang masuk!” seruku.

“Ti, tidak lucu! Eh, apa maksudmu tadi? Ayah dan ibumu? Ada apa dengan mereka? Selama ini mereka baik-baik saja! Kau juga tidak pernah cerita padaku kalau ada sesuatu dengan mereka kan?” Kiseop menegakkan posisi duduknya. Aku memalingkan pandanganku darinya, dan berusaha untuk menahan tangisku.

“Yah, begitu… Be, begitu saja…” suaraku bergetar.

Mengingat ayah dan ibu, kenangan kami bersama selama hampir 18 tahun aku di dunia ini, dan pernyataan mereka semalam, membuat dadaku sangat sesak. Aku menahan nafasku. Dan saat aku melepasnya, air mataku mengalir begitu saja. Aku menangis. Kiseop hanya diam. Aku tahu, ia tidak berani bicara sekarang.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Sepertinya, itu bibi Lee.

“Kiseop, ini makanan untukmu dan Haesun!” seru bibi Lee dari luar kamar. Tanpa berkata apa-apa, Kiseop berdiri dan menghampiri ibunya yang sedang menunggu di depan kamar. Setelah beberapa lama, ia kembali. Ia menaruh makanan dari bibi Lee di atas meja belajarnya, lalu ia kembali duduk di hadapanku sambil menyodorkan kotak tisu padaku.

“Terima kasih…” kataku pelan.

“Sama-sama.” ia mengangguk.

“Yah, begitulah. Semalam mereka bilang padaku kalau mereka akan bercerai, keputusan ini sudah mereka pikirkan matang-matang.” lanjutku.

“Lalu, kau bagaimana?” tanyanya.

“Tidak tahu, sepertinya sih pembagian anak juga sudah mereka uruskan. Soohyun oppa akan ikut dengan ayah, dan aku tetap dengan ibu di rumah.”

“Jadi… Kau tidak akan pindah rumah?”

“Tidak! Hahahaha, santai saja! Itu rumah ibuku kok, jadi ayah tidak akan mungkin mengambilnya.”

“Ah, begitu… Aku tidak tahu harus membantu apa jika masalahmu seperti ini. Tapi, kalau kau membutuhkan apa-apa, kau hubungi saja aku seperti biasanya ya! Jangan sungkan!” katanya dengan wajah khawatir. Kiseop, kau ini terlalu baik…

“Iya, baiklah. Terima kasih Kiseop! Setidaknya hatiku lumayan lega setelah menceritakannya padamu, hehehe. Ah, kue ini sepertinya enak! Aku minta ya!” kataku sambil menyambar kue yang tadi dibawakan bibi Lee. Kiseop hanya tersenyum dan mengangguk. Aku tahu, ia pasti khawatir. Aku tahu, Lee Kiseop memang seperti itu…

***

Dua bulan sudah aku tinggal berdua saja dengan ibu. Ayah dan Soohyun oppa pindah ke luar kota. Tapi, kadang aku masih bisa bertemu dengan Soohyun oppa di sekolah saat Soohyun oppa sedang bertugas untuk melatih basket di sekolahku. Yah, bukan berarti aku tidak merasa kesepian sih… Aku hanya bisa bertemu dengannya seminggu sekali, bahkan tidak pasti setiap minggu, dan waktu kami untuk bertemu hanya sebentar. Biasanya kami bercerita tentang keadaan ayah dan ibu. Dan setelah beberapa kali bertukar cerita dengannya, aku baru saja sadar, Soohyun oppa mungkin lebih beruntung daripada aku…

“Haesun, minggu ini Soohyun hyung tidak melatih di sini lagi ya? Ini sudah yang ketiga kalinya loh. Kau tidak ingin bertemu dengannya apa?” tanya Kiseop.

“Yah, tentu saja aku mau…” jawabku.

“Kau kan bisa buat janji dengannya, ketemu di luar sekolah juga bisa kan?”

“Hem… Sepertinya ia sibuk.”

“Oh, begitu ya…”

“Eh, kelihatannya rumahmu sepi tuh? Ibumu ke mana?”

“Ibuku? Ah, pasti dia lembur lagi hari ini.”

“Wah, akhir-akhir ini ibumu kelihatannya sibuk ya?”

“I… Iya! Hahaha!”

“Kau tidak apa-apa di rumah sendirian? Ke rumahku saja dulu.”

“Ah, tidak usah. Aku harus mengerjakan PR dulu nih, hehehe. Aku masuk dulu ya!” aku membuka pagar dan melambaikan tangan ke arah Kiseop.

“Ah ya, baiklah. Kalau stok makanan di rumahmu sudah habis kau makan, datang saja ke rumahku! Hahaha!” serunya dari seberang.

“Urgh!!!” aku mengepalkan tanganku, lalu ia tertawa.

Lagi-lagi sepi. Setiap hari seperti ini. Dulu, setiap aku pulang sore pasti Soohyun oppa sudah ada di rumah. Lalu satu atau dua jam kemudian ibu pulang dari kerjanya. Sebenarnya aku sudah membiasakan diri dengan keadaan seperti ini, tapi, mengingat masa-masa seperti dulu, rasanya kangen juga…
Akhir-akhir ini ibu selalu pulang larut malam. Paginya, ia bilang ia pulang larut karena pekerjaan yang menumpuk. Akhir minggu, ia selalu pergi ke luar rumah. Ia bilang padaku bahwa ia sedang ada janji dengan rekan kerjanya. Ya, aku hanya bertemu dengan ibu di pagi hari. Temanku sehari-hari ini hanya Kiseop. Sungguh, aku beruntung memiliki sahabat sepertinya.

***

“Bagaimana kabar ibu?”

“Baik-baik saja. Ayah bagaimana?”

“Dia juga baik kok, seperti biasa, hahaha!”

“Dia masih suka pulang malam seperti dulu?”
“Yaa… Tidak selarut dulu sih, kan rumah kami sekarang lebih dekat dari kantor, jadi perjalanan ayah dari kantor ke rumah tidak begitu lama. Wah, aku jadi rindu masakan ibu!”

“Ah… Aku juga…”

“Loh? Kau…”

“Ibu akhir-akhir ini selalu pulang larut malam, jadi dia tidak punya waktu untuk memasak seperti dulu. Akhir minggu pun dia ada banyak janji dengan rekan kerjanya.”

“Be…benarkah? Kalau begitu kau datang saja setiap hari Minggu, aku dan ayah suka pergi memancing. Di dekat rumah, sungainya bagus loh!”

“Oppa… Kau sering berjalan-jalan dengan ayah?”

“Iya… Eh, yaaaah, lupakan. Kau ajak saja ibu untuk berjalan-jalan. Biasanya perempuan suka shopping kan? Hehehe”

“Aku sudah pernah mengajaknya, ia selalu bilang ia ada urusan. Ah sudah oppa, aku harus pulang. Hubungi aku nanti kalau kau sedang kemari.”

“Baiklah Haesun… Hati-hati ya. Ng, maafkan aku.”

“Maaf kenapa?”

“Maaf kalau kata-kataku barusan ada yang membuatmu kesal. Aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu… Aku minta maaf…”

———-

“Iya kan, Haesun?” tanya Kiseop padaku.

“Ah, apa? Kau bilang apa barusan? Maaf, aku tidak dengar!” aku merasa bersalah karena tidak mendengar Kiseop tadi. Aku sedang terbayang percakapanku dengan Soohyun oppa saat terakhir aku bertemu dengannya di sekolah.

“Eeergh, jadi kau tidak mendengarkan?”

“I, iya… Aduh, maafkan aku!” aku menepukkan tanganku.

“Ah, sudahlah. Tidak akan kuulang kalimatku tadi!” katanya sambil membuang muka.

“Ah, Kiseop-ah… Beritahu aku… Aku janji kali ini aku akan mendengarkan!”

“Tidak.”

“Lee Kiseop… Kau tahu tidak? Ada kedai es krim baru di kantin ini.”

“Aku tahu.” katanya sok cuek.

“Lalu kemarin aku baru saja terima uang jajan bulanan dari ibuku…” aku mengeluarkan dompetku.

“Lalu?” tanyanya sambil melirik ke arah dompetku.

“Kubelikan kau es krim, tapi ulangi kalimatmu yang tadi!”

“Hem…” ia bergumam.

“Mau kan?”

“Yah, baiklah kalau kau memaksa~”

“Baiklah, aku belikan dulu es krimnya yaaa…” aku beranjak dari tempat dudukku.

“Aku stroberi” katanya.

“Jangan beritahu aku, aku tahu seleramu ya!”

“Hahahahahaha!” ia tertawa lepas dari tempat duduknya. Aku memandanginya dari kedai es krim yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami duduk.

“Nah, ini es krim stroberimu.” kataku sambil menyodorkan es krim padanya.

“Asiiiik, terima kasih Haesun!”

“Sama-sama. Nah, sekarang, beritahu aku.”

“Apa?” tanyanya sambil mendongakan kepalanya.

“Kalimatmu!” seruku.

“Oh, kau benar-benar penasaran ya?”

“Tentu saja!”

“Yakin kau mau tahu?”

“Hu-uh!” anggukku.

“Aku tadi tidak bicara apa-apa tahu…”

“Maksudmu?”

“Aku tidak bicara apa-apa tadi. Kau tadi kelihatan sedang bengong, ya sudah aku berpura-pura mengajakmu bicara. Eh, es krimnya enak…” katanya dengan muka tanpa dosa.

“Grrrrrr~ Lee…… Ki…. SEOOOOOOOOOOOOP!!!!!!!!!”

***

“Tuhkan, dia itu jahil sekaliiiii!” seruku pada Yuna, teman sebangkuku.

“Keluhanmu sama saja setiap hari, hhhh.”

“Tapi benar-benar, dia ini, UUUUUUH!!!” aku memukul-mukul mejaku.

“Tapi aku tahu, dia baik padamu kan?” tanya Yuna.

“Tidak! Eh…” setelah menyangkal tebakan Yuna, tiba-tiba aku kembali merasakan kebaikan-kebaikan Kiseop yang selama ini diberikan padaku. Sejak kecil, hingga sekarang, ia selalu ada di sampingku saat aku sedang membutuhkan pertolongan. Memang sih, sejak kecil juga dia suka menjahiliku seperti saat-saat sekarang ini. Tapi, kebaikannya selama ini tidak pernah kulupakan sampai sekarang, bahkan yang terkecil pun…

“Tuhkan, kau pasti baru sadar kalau Kiseop begitu baik padamu.” Yuna menyengir.

“Eh! Yaaaa, benar juga sih… Dia jahil, tapi dia juga baik, saaaangat baik! Makanya sampai sekarang aku tidak pernah marahan serius dengannya. Kalau paginya kami bertengkar, pasti siangnya tetap pulang bersama-sama, hehehe.” jelasku.

“Yah, kau memang ditakdirkan untuk bersama dengannya, hahahaha!”

“Ish! Enak saja!”

“Hahaha, aku bercanda. Eh, aku punya tiket diskon nonton film barunya Lee Sun-il, nih! Kita nonton yuk! Kau kan butuh refreshing juga Haesun…”

“Hem, baiklah, aku juga sedang pegang uang nih! Hehehe~”

“Oke! Hari Minggu saja kita bertemu di depan bioskop ya!”

***

Hari ini aku dan Yuna pergi menonton seperti yang kami janjikan waktu itu. Seperti yang kutebak sebelumnya, film pilihan Yuna pasti film romantis. Sebenarnya aku kurang suka film seperti ini, tapi, yaaaah, sekali-kali menemani teman tidak ada salahnya juga, lagipula aku juga tidak ada kerjaan di rumah. Seperti biasa, Ibu tidak di rumah.

“Gantengnyaaaaaa! Sun-il oppaaaaa~” seru Yuna heboh setelah menonton film yang dibintangi artis pujannya itu.

“Dia sudah umur 25 tahun ya? Masih seimut itu loh…” pujiku.

“Waaaaah, oppa-ku! Apalagi perannya di film barusan manis sekali… Aku suka cowok romantis seperti itu…”

“Ah, membosankan! Kalau aku sih, lebih suka cowok yang iseng, tapi baik. Pasti seru kalau punya pacar seperti itu, hehehe”

“Apa? Kiseop…..” Yuna tercengang.

“Kiseop? Di mana?” aku menoleh ke kanan dan kiri.

“Bukan, bodoh. Kriteria cowokmu barusan. Itu bukannya Kiseop?”

“Apa…? Ah!” aku menutup mulutku. Aku baru sadar. Aku bilang aku suka cowok yang iseng dan baik. Sebelumnya aku pernah bilang ke Yuna kalau Kiseop itu orangnya jahil, tapi baik. Tapi kan yang kumaksud tadi bukan Kiseop…

“Wah Haesun…”

“Eeeeh! Aku tidak bilang kalau itu Kiseop loh.” aku cepat-cepat menyangkal.

“Iya, aku juga tahu kau bilang seperti itu tanpa membayangkan Kiseop. Tapi sepertinya… Sepertinya kau ini suka Kiseop deh.” kata Yuna.

“Eeeeerr…” aku diam membayangkan Kiseop.

“Wajahmu merah. Ah sudahlah, ayo kita makan! Aku lapar nih~” Yuna menarik tanganku. Aku masih diam dan memegang pipiku. Sial, aku terbayang kata-kata Yuna tadi.

***

Author’s POV

“Aku pulang.” salam Haesun sambil membuka pintu. Tidak ada jawaban. Ibunya belum pulang. Ia menghela nafas. Yah, bahkan ia lupa kapan terakhir ia jalan-jalan dengan Ibunya. Sesibuk apapun Ibunya dulu, ia tidak pernah meninggalkan waktu santainya dengan Haesun dan keluarganya. Sekarang, Haesun ditinggalkan. “Ah? Apa itu?” Haesun menyadari ada sebuah amplop tergeletak di atas meja. Haesun mengambilnya. “Dari ibu, untuk aku?” katanya pelan. Ia membuka amplop itu, isinya secarik kertas dan beberapa lembar uang. Haesun tidak mempedulikan uang-uang tersebut, ia mengambil kertas yang ditinggalkan ibunya di amplop itu, dan membacanya.

“A…… Apa?” tanya Haesun pelan. Ia terduduk lemas di lantai, pikirannya kacau. Ia masih mencerna kalimat-kalimat yang dituliskan ibunya pada surat itu. Antara percaya dan tidak percaya, Haesun berharap hari ini hanya mimpi buruknya.

*** to be continued ***

2 responses to “[PART 1] Santa, I Have a Wish!

  1. Kiseopielovers

    dilanjutin dong!
    jarang2 nih ada FF castnya Kiseop

Leave a comment