For Tomorrow

Perempuan itu tersenyum ramah dan berbicara dengan lembut. Masih sama seperti yang kulihat sebelum-sebelumnya. Aku pun masih seperti ini, melihat ke arahnya dari kejauhan bersama serpihan harapan yang tidak akan pernah tercapai. Tempat duduk ini adalah saksi dari kenangan hidupku yang termanis. Setiap sorenya aku duduk di tempat duduk besi ini untuk memandang perempuan itu, perempuan penjaga toko bunga yang pertama kali kulihat saat aku sampai di kota ini. Aku bersyukur telah menemukan toko bunga itu, toko bunga kecil yang terletak tidak jauh dari stasiun kota, berisikan bunga-bunga cantik yang dijaga oleh perempuan yang tidak kalah cantiknya. Sejak pertama kali aku melihat perempuan itu, jantungku berdebar tidak karuan, pertama kalinya aku merasakan debaran jantung sekencang itu hingga aku merasa sesak. Sejak pertama kali melihatnya, aku merasa ingin melihatnya setiap waktu. Maka, setiap sore aku pergi ke sini untuk melihatnya dari kejauhan, dan waktunya sangat singkat. Saat bel stasiun berbunyi, tidak lama kemudian perempuan itu membereskan toko lalu menutupnya. Musim demi musim berganti, aku tetap berada di sini setiap sorenya, melihat perempuan yang selalu hadir dengan senyum lembutnya, senyum paling indah yang pernah kulihat.

Hingga kini, aku belum mengetahui namanya, dan suaranya pun aku tidak tahu. Aku belum pernah menghampirinya. Jarak paling dekat antara aku dengannya adalah jarak dari tempatnya berdiri sekarang hingga tempatku duduk. Ya, sama seperti hari-hari biasanya. Padahal hanya dengan menemuinya saja, aku pasti sudah bisa mengetahui namanya dan mendengar suaranya yang selama ini hanya bisa kukira-kira saja. Tapi aku tidak berani, aku takut untuk mendekatinya. Kupikir, hanya dengan melihatnya dan mengetahui bahwa ia baik-baik saja, itu sudah membuatku senang.

***

Sama seperti tiga hari lalu, dan hari-hari sebelumnya, aku duduk di sini sambil melihat ke arah toko bunga kecil di seberang sana. Tidak lama lagi aku akan meninggalkan kota ini, aku harus mengikuti ayahku yang dipindahtugaskan ke Osaka. Sebenarnya hari ini agak beda dari hari sebelumnya, ini adalah hari terakhir aku melihatnya dari kejauhan seperti sekarang, ini hari terakhir aku melakukan kebiasaan yang paling kusuka selama hidupku. Karena ini hari terakhirku, aku ingin menemuinya dan mengetahui namanya. Aku ingin mendengar suaranya untuk yang pertama dan terakhir kalinya…

“Permisi…” akhirnya aku memasuki toko bunga yang selama ini kupandangi dari jauh.

“Selamat datang, ada yang bisa kubantu ?”

Aku diam. Jantungku berdetak kencang dan tubuhku lemas seketika. Itu kalimat yang pertama kudengar darinya, itu suaranya, ternyata jauh lebih lembut daripada yang kukira. Wajahnya dari dekat begitu cantik dan lembut, senyumnya dari dekat terlihat sangat menawan.

“Kau akan membawakan bunga untuk siapa ? Katakanlah bunga yang kau inginkan, aku akan membantumu untuk memilihnya.” ia tersenyum lembut padaku. Senyum yang selama ini kulihat dari jauh, kini kupandang hanya beberapa meter dari tempatku berdiri.

“Aku akan membelinya untukku sendiri. Begini, aku… Aku akan meninggalkan kota ini. Jadi…”

Kalimatku terhenti saat aku melihat papan nama yang terpasang di bajunya. Itu namanya. Nama yang sangat cantik, sangat pantas untuk dikagumi, nama yang begitu serasi dengan pemiliknya.

“Baiklah, bagaimana dengan bunga merah muda ini ? Bunga ini akan membawa keberuntungan untuk hari esokmu, dengan harapan semoga hari-hari barumu di kota yang baru akan lebih baik daripada hari ini.”

“Eh, ya, aku ambil itu…”

Ia menata beberapa tangkai bunga cantik itu dengan sangat hati-hati, lalu diikatnya dengan pita berwarna merah. Jarinya sangat indah dan terlihat lembut. Betapa beruntungnya lelaki yang dapat menyentuh jari-jari itu dan memasangkan cincin padanya suatu saat nanti…

“Ini bungamu, terima kasih.” katanya sambil tetap tersenyum.

“Sama-sama…”

Setelah melihat senyumnya, aku membalikkan tubuhku dan berjalan menjauhi toko bunga itu. Itu senyumnya yang kulihat untuk terakhir kali setelah tiga tahun aku melihatnya dari kejauhan.
Tanpa komando dariku, air mataku mengalir. Aku terisak sambil menggenggam bunga-bunga yang ia pilihkan untukku tadi. Malam ini aku akan meninggalkan semuanya, tempat duduk yang setia menemaniku, suara bel stasiun, toko bunga yang selalu kulihat dari seberang, dan yang terpenting, perempuan pujaanku.
Aku tidak sanggup membalikkan badanku kembali ataupun sekedar menoleh ke belakang, aku tidak sanggup melihat pemandangan itu lagi, pemandangan yang selalu kulihat setiap sorenya.
Tidak ada hari yang paling kusuka selain hari ini, saat aku melihat dirimu dari jarak dekat, mengetahui namamu, mendengar suaramu, melihat jari-jari indahmu, dan melihat senyum manismu untuk yang terakhir kalinya, aku bersumpah demi hari esok yang sedang menungguku.
Aku harap, kau tetap mengingat suaraku, sama seperti aku yang selalu teringat suara lembutmu. Aku harap kau masih baik-baik saja setelah aku meninggalkan tempat ini, besok kau akan tetap bekerja seperti biasanya, tapi, tanpa kau sadari, ada yang hilang dari rutinitas itu. Lelaki yang selama tiga tahun memperhatikanmu dari kejauhan ini, tidak akan memperhatikanmu lagi dan hanya dapat mendoakanmu dari jarak yang lebih jauh daripada sebelumnya.

Leave a comment